Mari Mengenal Suriname
Senin, 19 Juli 2010
Sejarah islam di Suriname
Cahaya Islam itu juga bersinar terang di Amerika Selatan, tepatnya di Negara Republik Suriname, negara bekas jajahan Belanda yang merdeka pada 25 Nopember 1975. Suriname berpenduduk hanya 492.829 jiwa (sensus penduduk tahun 2004) dan mendiami lahan subur seluas 163.820 km2. Negara yang menjadi penghasil bouksit (bahan alumunium) terbesar di dunia itu dihuni oleh penduduk dengan multi ras dan kultur. Ras terbesar adalah suku Hindustan, 135,177 jiwa (27,4 % jumlah penduduk), disusul kemudian suku Creool, 87,202 jiwa (17,7 %), Marron, 72,553 jiwa (penduduk asli, 14,7 %), Jawa, 71,879 jiwa (14,6 %), dan suku-suku kecil lain seperti Inheems, 18,037 jiwa (3,7 %), Gemends, Kaukasish, China, dan lain-lain.
Negara Suriname berbatasan dengan Brazilia sebelah selatan, Guyana Perancis (timur), Guyana Inggris (barat), dan samudera Atlantik (utara). Negara itu dibagi ke dalam 8 distrik utama (semacam propinsi), yaitu: Paramaribo (ibu kota negara), Para, Coronie, Commewijne (konsentrasi utama masyarakat Jawa), Brokopondo, Samaracca, Marowijne (penghasil tambang utama, bauksit), dan Nickerie (pusat persawahan dan lumbung padi). Seperti Indonesia, Suriname memiliki iklim Tropis dengan musim hujan lebih panjang dari musim panas. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Nopember hingga Juli, sedangkan musim panas terjadi pada bulan Juli hingga Nopember setiap tahun. Itulah, maka tanah Suriname sangat subur, hutan yang hijau dan berbagai tanaman tumbuh subur di sana. Berbagai tanaman yang tumbuh di Indonesia, tumbuh pula di sana.
Dalam sejarah panjangnya, wilayah ini ditemukan oleh seorang Spanyol, Kapten Alonso De Ujida, asisten pelayar terkenal Amrico Pespucci pada tahun 1499. Dia sampai di pantai timur laut Amerika Latin dan menemukan kelompok-kelompok suku Marron (Indian) menyebut wilayah itu dengan nama Guyana. Pada tahun 1593, pemerintah Spanyol menjajah wilayah tersebut sampai dengan kedatangan seorang Inggris F.L. Wiilaughby pada tahun 1651 untuk kemudian menjajahnya atas nama pemerintah Inggris. Pada tahun 1667 Belanda berhasil merebut wilayah itu dari tangan Inggris setelah sebelumnya terjadi pertempuran sengit. Kemudian pada tahun 1816, wilayah Guyana itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Guyana Perancis (dibawah jajahan Perancis), Guyana Inggris (dibawah jajahan Inggris), dan Suriname (dibawah jajahan Belanda).
Belanda menjajah Suriname selama lebih kurang tiga setengah abad. Pada tahun 1950, Suriname diberikan hak otonomi, tahun 1954 menjadi negara bagian Belanda, dan pada 25 Nopember 1975 diberikan hak kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Belanda, dimulai sejak abad 17, Suriname menjadi sumber penghasil devisa terbesar bagi negeri Kincir Angin itu, di samping dari Indonesia dan negara jajahannya yang lain. Maka di Suriname dibangun proyek perkebunan (plantation) secara besar-besaran. Dibangun di sana proyek perkebunan (plantation) tebu, kopi, kapas, jeruk, pisang, padi, kelapa, dan lain-lain. Untuk menggarap proyek besar itu, Belanda merekrut tenaga kontrak secara besar-besaran dari Afrika, India, dan Jawa (Indonesia). Mereka dipekerjakan secara paksa di perkebunan-perkebun an tersebut hingga akhirnya mereka menetap turun-temurun di sana karena tidak mungkin pulang kembali ke negeri asalnya. Bahkan untuk kasus orang-orang dari Afrika (Negro), mereka tidak saja menjadi tenaga kontrak, melainkan jauh sebelum itu diperlakukan sebagai budak (slavers) dari para kaum penjajah. Kaum Negro itu sampai mendapat julukan penghinaan sebagai kaum Jewcach (kotoran orang Yahudi), karena mereka diperbudak oleh kaum Yahudi (Barat) yang salah satu kerjaan mereka adalah membersihkan kotoran kaum Yahudi. Kaum Negro itu akhirnya terbagi menjadi dua, 1) suku Creool, yang masih setia di kota sebagai budak dengan tetap mengabdi kepada majikannya, dan 2) mereka yang melarikan diri ke hutan karena tidak sudi menjadi budak orang Yahudi, mereka itu kemudian dikenal dengan suku Bush Negro.
Kini mereka adalah keturunan ke tiga atau ke empat dari nenek moyang mereka yang dijadikan tenaga kontrak atau budak Belanda itu. Kini mereka tidak lagi menjadi tenaga kontrak atau budak seperti embah-embahnya dulu karena negara sudah merdeka. Mereka telah menghirup udara bebas di alam kemerdekaan. Secara ekonomi, kehidupan mereka relatif mapan. Jumlah penduduk sedikit dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, nyaris tidak ditemukan fakir miskin. Tidak ada pengangguran asal mau kerja, kecuali mereka yang bermalas-malas. Disiplin kerja begitu tinggi dan setiap orang dihargai berdasarkan prestasinya. Tidak dikenal uang pelicin untuk melancarkan urusan di berbagai instansi. Urusan segera dikerjakan sepanjang waktu memungkinkan. Penghargaan terhadap waktu begitu tinggi. Apabila Anda terlambat beberapa menit saja, maka urusan Anda tidak dapat diproses. The time is money, kata mereka. Maka menunggu Anda diluar waktu adalah kerugian bagi mereka.
Latar belakang suku asal mereka masih sangat diperhitungkan dalam percaturan politik negara tersebut. Hal itu terlihat dalam kelompok-kelompok organisasi masyarakat dan politik yang masih sangat kental akan warna suku dan ras. Ada partai dari suku Hindustan, Creool, Jawa dan lain-lain. Dominasi suku-suku tersebut tidak jarang kemudian menimbulkan benturan-benturan antar suku-suku seperti yang terjadi pada tahun 1980, dimana tentara mengambil alih pemerintahan karena terjadi kekacauan antara suku. Meskipun demikian, kudeta itu tidak memperbaiki keadaan.
Bahasa resmi Suriname adalah bahasa Belanda. Di samping itu ada bahasa Suranan Tango (Taki-Taki, take-take), yaitu bahasa campur-campur, serapan dari berbagai bahasa di Afrika, Inggris, Belanda, Perancis dan lain-lain, hingga menjadi bahasa umum di masyarakat. Selain itu ada bahasa Hindustan Suriname yang dipakai oleh kalangan keturunan India, dan bahasa Jawa yang dipakai oleh kalangan masyarakat dari suku-suku di Indonesia, terutama Jawa.
Kentalnya latar belakang suku, mendatangkan problematika tersendiri bagi Suriname. Mereka dulu datang dari berbagai negara (Afrika, India, Jawa, Cina) tidak karena kemauannya sendiri melainkan dipaksa datang sebagai budak atau tenaga kontrak dengan latar belakang kultur yang berbeda. Kondisi tersebut masih sangat dominan pada masa kemerdekaan kini, dimana mereka sulit disatukan atas nama kebangsaan. Mereka sangat berpegang teguh pada sukuisme dan primordialisme.
Rendahnya sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah besar. Mereka yang tadinya sebagai budak dan tenaga kontrak, setelah ditinggal Belanda harus mengurus negaranya sendiri. Yang terjadi adalah ketidakmampuan menggarap lahan luas yang dulu dijadikan perkebunan penghasil devisa utama. Tanah-tanah itu diserahkan pada elit-elit penguasa dan tuan tanah yang penangannya dilakukan sendiri-sendiri dengan hasil tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat banyak. Di samping itu, kemerdekaan negara yang tidak dihasilkan melalui proses perjuangan mengusir penjajah, melainkan berkat hadiah yang diberikan sang penjajah, menyebabkan tidak semua puas dengan suasana kemerdekaan seperti sekarang. Bahkan sebagian berontak ingin melepaskan diri (seperti yang pernah terjadi pada distrik Morowijne) atau merasa bahwa pada masa penjajahan Belanda lebih sejahtera dibandingkan masa sekarang.
Islam di Suriname
Data statistik sensus penduduk Suriname tahun 2004 menunjukkan bahwa Islam di Suriname mencapai 66,307 jiwa (13,5 % dari jumlah penduduk), menduduki peringkat ketiga setelah agama Kristen, 200,744 jiwa (40,7 %) dan Hindu, 98,240 jiwa (19,9 %). Dari seluruh umat Islam di Suriname, yang terbanyak berasal dari suku Jawa, 46,156 jiwa (69,6 %) dan yang lain dari Hindustan, 15,636 jiwa (23,6 %) dan suku-suku lain. Pada mulanya secara umum masyarakat muslim Suriname memeluk agama sekedar mewarisi agama nenek moyang. Hal itu terjadi karena mereka memang datang ke Suriname tidak mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Pada kasus masyarakat muslim Jawa umpamanya, kebanyakan mereka berasal dari tradisi agama Islam Jawa Abangan yang hanya mengenal Islam sekedar nama dan lebih kental dengan unsur tradisi dan budaya Jawa. Hal itu terlihat umpamanya, kenapa hingga sekarang sebagian masih mempertahankan shalat menghadap ke barat seperti nenek moyang mereka dari Jawa, padahal Suriname berada di sebelah barat Ka’bah.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, pemahaman Islam semakin membaik, dan kesadaran untuk beragama Islam secara kâffah (komprehensif) semakin meningkat, maka umat Islam Suriname semakin menunjukkan jati dirinya. Islam tidak lagi dijadikan sebagai agama warisan nenek moyang, tapi dipeluknya dengan seutuh kesadaran. Lambat laun Islam tidak saja dijadikan sebagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah jalan kebenaran untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Fenomena seperti itu dapat dengan mudah kita temui di mana-mana, di kota dan kampung, di pasar dan jalan-jalan. Berbusana muslim / muslimah menjadi pemandangan yang biasa di tengah-tengah gempuran model busana Barat yang mengumbar aurat. Sahut menyahut ucapan salam simbol Islam (Assalâmu’alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh) antara muslim Jawa dengan muslim Hindustan atau Creool, menjadi budaya mereka yang menggambarkan betapa suasana ukhuwwah dan silaturrahmi itu dibangun begitu indah. Bahkan tidak jarang persahabatan itu berlanjut dengan membangun hubungan keluarga dengan menikahnya muslim Jawa dengan muslimah Hindustan umpamanya.
Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin tercerahkan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Peran lembaga-lembaga organisasi sosial, yayasan dan masjid dalam melakukan perubahan sikap keberagamaan itu begitu besar. Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya menghidupkan api Islam di Suriname dari yang paling tradisional sampai yang paling modern, dari yang baru tahap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab, hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar dan simposium, radio, televisi dan internet. Dakwah bukan saja untuk umat Islam tapi juga meluas ke semua anak negeri. Geliat itu begitu terasa hingga pemeluk Islam bukan saja orang Jawa dan Hindustan, tapi juga satu persatu orang-orang Negro dan kulit putih pun mencintai Islam. Masjid masyarakat Creool yang terkenal adalah Masjid Shadaqatul Islam di kota Paramaribo.
Cahaya Islam Bersinar Terang.
Perserikatan milik umat Islam keturunan India, Suriname Muslim Associatie (SMA), memiliki andil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname. Organisasi ini memiliki masjid terbesar di kota Paramaribo dibambah dengan 14 masjid lain yang berada dalam binaannya. Organisasi yang bermazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah al-Hanafi itu mengelola sekolah-sekolah dan 2 panti asuhan anak yatim yang cukup bagus. Meskipun dikelola oleh para pengurus dari keturunan India, tapi terbuka kegiatannya untuk seluruh umat Islam, bahkan salah satu imam Masjid Terbesar itu adalah seorang ustadz dari keturunan Jawa, dan para pengajarnya juga ada yang berlatar belakang keturunan bukan India.
Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suriname, adalah lembaga paling berpengaruh di Suriname dari kalangan suku Jawa yang membawa obor perubahan bagi kebangkitan Islam. Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Nabawi, dengan 54 masjid lainnya berada dalam binaannya tersebar luas di distrik Paramaribo dan distrik-distrik lain. Empat sekolah (madrasah) formal yang didirikan sejak tahun 80-an menjadi cikal bakal bagi proses pengkaderan dan penempaan sejak dini tentang kesadaran beragama Islam. Sekolah-sekolah itu diikuti oleh murid-murid dari berbagai suku dan agama, tidak hanya Jawa dan Islam. Di madrasah-madrasah itu, apapun latar belakangnya, semua harus mengikuti pelajaran Islam dan kepribadian muslim. Dakwah yang sangat strategis. Mereka yang non-Islam memeluk Islam ketika sekolah atau seusai mengikuti pendidikan. Bahkan keluarga mereka pun akhirnya ikut memeluk Islam seperti anak-anak mereka yang belajar di sekolah-sekolah itu. Dakwah yang lain dilakukan dengan membangun panti asuhan anak yatim dan panti jompo.
Masjid Nabawi dan masjid-masjid lain menjadi pusat kegiatan Islam bagi masyarakat Islam lebih luas. SIS mengelola masjid-masjid itu tidak sekedar sebagai tempat ibadah shalat. Kegiatan rutin mingguan setiap Kamis malam Jum’at dalam bentuk pengajian dan ceramah dilakukan tidak saja dalam rangka pengayaan pemahaman terhadap ajaran Islam, tapi juga sebagai media memperkokoh ukhuwah di kalangan jama’ah serta dalam rangka membangun shaff wâhid (barisan satu) seakan mereka sebagai bunyân marshûs (bangunan yang kokoh). Masjid-masjid juga digunakan sebagai taman pendidikan al-Quran yang peserta didiknya tidak saja di kalangan anak-anak dan remaja, tapi juga di kalangan para pensiunan dan manula (manusia lanjut usia).
SIS mempelopori gerakan pembaruan Islam di kalangan masyarakat Jawa. Kaum Abangan Jawa yang tadinya sangat kental dengan tradisi kejawen dan shalat menghadap ke barat, lambat laun dirubah menjadi masyarakat muslim dengan pemahaman yang lebih baik. Organisasi kalangan Jawa Abangan (Ngulonan, karena shalat menghadap ngulon, barat), seperti Federatie van Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS) terus menerus diajak dialog secara kelembagaan ataupun pribadi-pribadi hingga satu-persatu menemukan kebenaran itu. Bahkan para pemimpin Ngulonan pun, sesungguhnya telah mengetahui kebenaran itu dan mudah-mudahan segera dibukakan pintu hidayah. Maka muncullah masjid-masjid baru dengan gerakan pencerahan Islam yang menjadi pusat bagi terbitnya cahaya Islam, seperti masjid Ansharullah, masjid Asy-Syafi’iyah Islam, masjid Rahmatullah Islam, dan lain-lain.
Gerakan al-rujû’ ila al-Islâm (kembali kepada Islam) dengan kesadaran untuk menerapkan Islam secara kâffah (komprehensif) dalam segala lini kehidupan, telah dilakukan oleh lembaga SIS sejak tahun 1980-an. Yaitu seiring dengan kedatangan para da’i yang berjuang bagi kebaikan Islam dan saudara muslimnya di Suriname. Ustadh Sobari Muhammad Ridwan (kini ketua SIS), asal Banyumas yang bermukim lama di Masjid Haram Makkah sebelum berdakwah di Suriname, datang ke Suriname tahun 1981. Beliau berdakwah tidak kenal lelah dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, menjelaskan bagaimana ajaran Islam itu. Islam tidak sekedar agama warisan dan tradisi nenek moyang. Islam adalah ajaran hidup yang memberikan kebahagiaan bagi pemeluknya. Kaum muslimin harus bangga dengan agamanya, mengerti benar ajarannya dan menerapkannya dalam kehidupan sosial. Datang pula para da’i, Ustadz Ali Ahmad (asal Jawa Tengah, kini telah pensiun dan tinggal di Belanda), Ahmad Mujib (telah pulang ke Bekasi beberapa tahun lalu), Ahmad Muslih (telah pulang ke Semarang setelah pensiun). Datang pula Ustadz Abdul Ghafir yang kini kiprahnya tidak saja untuk organisasi SIS, tapi masuk di kalangan muslim Ngulonan dan masyarakat Hindustan dengan penguasaan bahasa Belanda yang sangat bagus. Beliau aktif mengajar dan berdialog dengan pemuda dan mahasiswa di kampus-kampus, juga tekun mengajar ngaji bapak-bapak pensiunan dan manula dari masjid ke masjid. Datang pula Ustadz Ali Arifin Thalhah, alumni Libiya, asal Padang yang datang ke Suriname tahun 1983. Pada waktu datang, tak sepatah kata pun mampu mengucapkan bahasa Jawa. Tapi kini bahasa Jawanya lebih halus dari orang Jawa, bahkan bahasa Taki-taki, Hindustan, dan Belanda menjadi bahasanya dalam mengajar, ceramah, dan berdialog. Ustadzh yang pernah mempunyai rumah makan Padang satu-satunya di Suriname itu dengan lincah dapat masuk di komonitas masyarakat Jawa, Hindustan, dan Creool dengan menggunakan bahasa mereka.
Generasi berikutnya adalah para ustadz yang datang dari anak-anak Jawa warga negara Suriname sendiri, seperti Ustadz Mahfudz Sarijadi (aktif sebagai militer dan berdakwah di kalangan militer dan sipil), Ustadzh Abdul Ghaffar (ketua lembaga forum umat Islam yang membawahi organisasi-oraganis asi Islam dari berbagai latar belakang suku). Kedua ustadz tersebut alumni Indonesia dari Pondok Modern Gontor. Datang pula kader-kader yang disekolahkan di Timur Tengah dari anak-anak Jawa Suriname, seperti Ustadz Marcel (kini pimpinan Masjid Darul Falah, penghulu dan penyiar radio Garuda berbahasa Jawa), Ustadz Stanly Suro Raharjo (ketua Bidang Agama Islam Departemen Dalam Negeri Suriname), Ustadz Henry Waluyo dan lain-lain.
Dakwah yang Hidup dan Mencerahkan
Sinar Islam itu memancar karena sentuhan lembut para da’i-da’inya. Mereka menampilkan Islam dengan wajah cerah dan dengan bahasa simpatik. Mereka berjuang tidak mengenal lelah, tidak untuk materi apalagi dalam rangka menggapai jabatan. Dakwah dilakukan secara praktis berdasarkan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya sang da’i dituntut tidak saja pandai berceramah, tetapi mampu menjadi teladan dalam kehidupan, termasuk teladan dalam membangun rumah tangga, masyarakat dan kehidupan ekonomi. Mereka mendakwahkan Islam sebagai ajaran yang hidup dan dinamis. Islam tidak saja ada dalam do’a, dzikir, masjid, kenduri, walimah pernikahan, dan kematian. Islam mestinya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di pasar, kantor, pemerintahan, dan lain-lain. Islam menjadi ajaran transformatif yang mampu mentranformasikan nilai-nilai ajarannya ke dalam kehidupan nyata.
Itulah dakwah yang hidup dan mencerahkan. Yaitu dakwah yang dilakukan dengan pengorbanan harta, tenaga, pikiran, dan jiwa. Dakwah yang dilakukan ditengah kerusakan yang telah memuncak, di saat kejahatan meraja lela, di tengah-tengah kebatilan dan kemungkaran, di tengah masyarakat Jahiliyyah, dan di tengah masyarakat yang penuh kemusyrikan dan kemunafikan. Dakwah dilakukan dengan penuh linangan air mata dan cucuran darah, penuh tantangan dan rintangan. Itulah dakwah yang dilakukan para nabi dan rasul, para syuhada’ dan pejuang, para auliya’ Allah (wali Allah) dan ulama di sepanjang zaman.
Karena Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘âlamîn (kasih sayang bagi sekalian alam), sebagaimana yang terkandung dalam Q.S. al-Anbiyâ’/21: 107, al-An’âm/6: 54, al-A’râf/7: 158, Saba’/34: 28, maka dakwah Islam harus dihadirkan dalam rangka menjelaskan kebenaran kepada seluruh alam. Islam bukan untuk bangsa, suku, atau golongan tertentu. Islam hadir untuk seluruh dunia. Islam hadir tidak untuk membawa bencana, petaka, dan kehancuran, tapi datang untuk menebar rahmah, kasih sayang, dan kedamaian. Maka dakwah yang hidup yang mampu menjangkau seluruh dunia adalah dakwah yang dilakukan dengan pemahaman yang luas, hati lapang, dan memandang manusia sebagai saudara. Rasa persaudaraan itu harus ditanamkan sedemikian rupa, sehingga orang yang baru mengenal Islam tertarik menerimanya. Rasulullah bersabda: “Tebarkanlah rahmah kepada siapa yang di bumi, niscaya yang di langit akan memberikan rahmah pula kepadamu”. (H.R. Bukhari). Juga sabda beliau: “Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang akan diberi rahmah oleh Allah hanyalah orang-orang yang memiliki rasa rahmah di dalam diri mereka”. (H.R. Bukhari, Muslim).
Maka dalam rangka sukses dakwah, Buya Hamka pernah memberikan beberapa kiat, antara lain:
1. Niat yang benar. Mengetahui tujuan dakwah. Apakah untuk kepentingan pribadi, popularitas, atau agar mendapat kemegahan dan pujian orang. Bila niat dakwah bulat, demi menjalankan perintah Allah, mengharapkan ridha-Nya, dan guna menegakkan agama-Nya, maka andaikan menemukan kegagalan dan kesusahan; air mata mengalir, sumpit tidak berisi, beras yang akan ditanak tidak sampai menyampai, dan berbagai derita yang lebih besar dirasakan, sang da’i itu akan terus berjuang membela agama Allah. Kian banyak rintangan yang menghadang kian matang pengalaman dalam berdakwah. Dakwah akhirnya bukan semata-mata dari mulut, tapi tumbuh dari hati. Dakwah yang keluar dari hati akan diterima oleh hati. Sedangkan dakwah yang hanya keluar dari mulut yang menerima pun hanya kulit telinga saja, masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri.
2. Mengerti apa yang dibicarakan. Seorang da’i tidak hanya pandai pidato dan retorika. Dia harus menguasai materi yang disampaikan. Oleh karena itu diperlukan persiapan yang matang sebelum berbicara. Seorang da’i yang tidak begitu pandai berbicara pun bisa jadi berhasil dalam dakwahnya, bila apa yang disampaikan itu dikuasai dan dihayati. Nabi Musa kurang pandai dalam pidato, tapi berhasil dalam dakwahnya.
3. Mempunyai kepribadian yang kuat dan teguh. Seorang da’i tidak boleh mudah terpengaruh oleh pujian orang, dan tidak mudah tergoncang oleh kebencian orang. Jangan ada cacat dalam perangai, meskipun mungkin ada cacat secara fisik.
4. Mempunyai pribadi yang menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu’ merendahkan diri tetapi bukan rendah diri, pemaaf tapi disegani. Dia duduk di tengah orang banyak, namun tetap tinggi dari orang banyak. Merasakan apa yang dirasakan orang banyak. Sikap lembut yang menjadi keharusan bagi sang da’i itu ditegaskan dalam al-Quran Surat Ali Imran/3: 159.
5. Mengerti al-Quran dan al-Sunnah sebagai pokok pedoman utama. Selain itu, sang da’i harus mengerti Psikologi (ilmu jiwa), mengerti adat istiadat orang yang jadi sasaran dakwah.
6. Tidak membawa sikap pertentangan, menjauhkan dari perdebatan, apalagi kalau yang diperdebatkan itu hanya persoalan khilafiyah. Sang da’i hendaknya memiliki budi pekerti yang luhur, tidak membicarakan hal-hal yang membawa kepada perpecahan, tapi membawa kepada persatuan.
7. Keteladanan. Keteladanan dalam sikap hidup sang sa’i jauh lebih berkesan kepada umat dari pada ucapan yang sekedar keluar dari mulut. Oleh karena itu tidak cukup bagi da’i, ketangkasan dalam bertutur kata dan berpidato, tapi dia harus mendidik diri sendiri untuk taat menjalankan agama, taat beribadah, fasih mengungkapkan ayat-ayat maupun hadits dalam bahasa Arab, dan lain-lain. Semua keteladanan itu akan mendukung kesuksesan dalam berdakwah.
8. Menjaga diri dari hal-hal yang akan mengurangi harga dirinya. Seorang da’i harus menjauhkan diri segala bentuk maksiat, termasuk berbagai hal yang tidak bermanfaat, menjauhi tempat-tempat yang akan mengurangi penghargaan orang kepadanya. Seorang da’i, tidak hanya sepuhan luarnya saja, sehingga disebut dengan da’i karbitan. Seorang da’i tidak boleh hanya tampak shaleh waktu tampil di podium ketika berceramah. Sang da’i harus bertaqwa kepada Allah, bukan sepuhan atau sifat kemunafikan yang disandang.
Sebuah Optimisme dan Prospek Masa Depan
Yang menarik dalam statistik tahun 2004 di Suriname adalah adanya jumlah yang cukup tinggi dari kalangan penduduk yang tidak menentukan jenis agama, tidak Kristen, Hindu, atau Islam. Jumlahnya sangat fantastis, yaitu 127,538 jiwa (25,8 % jumlah penduduk), dengan rincian: agama tradisi, 16,291 jiwa, lain-lain 12,258 jiwa, tidak menjawab, 21,785 jiwa, tidak jelas, 75,823 jiwa, dan tidak dikenal, 1,381 jiwa. Angka itu jauh lebih tinggi dari jumlah pemeluk agama Islam yang hanya 66,307 jiwa (13,5 %). Artinya bahwa di sana masih ada lahan dakwah yang cukup luas bagi kemungkinan menambah angka pemeluk Islam. Bila kemudian jumlah orang-orang yang belum beragama itu, karena alasan tidak tahu, tidak bisa menjawab atau bingung, tertarik dengan cara hidup kaum muslimin, melihat para da’i yang lembut dan santun, dan akhirnya masuk Islam. Maka Jumlahnya akan meningkat dua kali lipat lebih dari jumlah sekarang. Hal itu bukan omong kosong. Kemungkinan itu bisa terjadi, bila semangat dakwah terus dibangun, kiat-kiat sukses dakwah diikuti dengan baik, dan pengurbanan tidak pernah berhenti. Meskipun tentu saja, sukses dakwah tidak saja ditentukan oleh jumlah pengikutnya (kuantitas), tapi yang lebih penting adalah kualitas kaum muslimin itu sendiri.
Berbagai tantangan dakwah pasti ada. Kebodohan, kemiskinan, kemalasan sebagian kaum muslimin sehingga sulit diajak maju, menjadi kendala tersendiri dalam perjuangan. Pengaruh materialisme, hedonisme, modernisasi dan globalisasi, giatnya upaya kristenisasi dan sekularisasi dari budaya Barat menjadi rintangan berat dalam berdakwah.
Namun optimisme harus tetap dibangun. Rintangan demi rintangan harus dihadapi. Tidak ada perjuangan tanpa rintangan. Keberhasilan mengatasi rintangan itulah kebahagiaan dan kejayaan. Untuk mewujudkan khair ummah (umat terbaik) memang diperlukan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (dakwah memerintah kepada yang baik dan mencegah kemungkaran) , serta adanya keteguhan iman yang kokoh (Q.S. Ali Imrân/3: 110). Allah juga menjanjikan kepada para pejuang akan jalan-jalan kebahagiaan itu: “dan orang-orang yang berjuang untuk agama Kami, maka niscaya Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami”. Q.S. al-Ankabût: 69. Itulah jalan-jalan kesuksesan, kemenangan, kesejahteraan, kejayaan dan kebahagiaan.
Semoga Islam terus bersinar dimana-mana, menerangi kegelapaan, memerangi kebodohan, dan melawan kezaliman.
Education in Suriname
In 1887 the first government school opened, patterned after the Dutch high school. In the 1940s the Dutch government divided the schools into primary and junior secondary schools, and a teacher-training college. A senior secondary school and law school were added by 1950. The country's Constitution of 1987 made education both free and compulsory from age 6 to age 12. More than 90 percent of the children in the coastal areas attend primary school. When the University of Suriname was established in 1968 (renamed Anton de Kom University in 1980), it absorbed the School of Law and School of Medicine, and added a School of Social Sciences. A need for trained technical workers led to the founding of the Natural Technical Institute in 1973 and later the Commercial Institute. Since the 1970s further changes in the educational system have focused on the curricula of primary and secondary schools.Free access to education is guaranteed by the Surinamese constitution.
Tuition is minimal at all levels. About half the schools are public; the rest are religious, most of them Protestant and Roman Catholic, which also receive government funding. The education system comprises preschool, primary, junior secondary, senior secondary, and tertiary schooling. The country has about 400 primary schools and 5 high schools. The University of Suriname has faculties of law, medicine, social science and economics, engineering, and natural resources. Three technical schools and five teacher-training colleges also exist. Although many Surinamese speak only Hindi or Javanese at home, Dutch was used in school until 1980, when this rule was relaxed, but most of the textbooks and other reading materials are still written in Dutch. The school year begins October 1 and ends in mid-August. It is divided into 3 terms, one 14 weeks long, another 13 weeks, and a third 12 weeks. The school day runs from 7:00 or 8:00 a.m. to 1:00 p.m.About 90 percent of all Suriname's four- and five-year-old children enroll in preschool.
The 16,000 children enrolled in nursery school in 1993 were taught by about 600 teachers, virtually all of them female. After their second year, the children enter primary school, which consists of grades one to six. In 1993 about 71,000 students were enrolled in 297 primary schools, an increase of only 7.7 percent over the previous 10 years. About half of these students were enrolled in religious schools. Successful completion of primary school is based on an examination administered nationwide at the end of grade six. Those who pass continue to one of the junior secondary schools. Unsuccessful candidates remain at the primary level until they pass the exam or reach the end of compulsory schooling.
Secondary education consists of junior secondary school and senior secondary school. In junior secondary school, students place in one of six streams according to how they perform on their sixth-grade examination. High scorers attend general junior secondary school, a four-year academic course that includes accounting, mathematics, physics, biology, and the like. Low scorers attend the junior secondary general vocational school and take a preprofessional course leading to further education. Those who do not qualify for the junior secondary general vocational school may attend one of the three-year junior secondary technical schools to learn carpentry, automobile mechanics, and other trades. Those with even lower scores attend an elementary vocational school to learn handyman skills; a vocational home economics school to learn homemaking; or a special education school. Of the 26,000 students enrolled in junior secondary education in 1994, some 49 percent attended a general junior secondary school, 31 percent were enrolled in the junior secondary general vocational school, and 19 percent were enrolled in the terminal vocational and technical options.
Students in the general junior secondary stream take an examination at the end of grade 10 to transfer to senior secondary school. In 1997, about 54.5 percent of the students passed, and 39.6 percent failed out of the 2,788 taking this examination. Students with the highest scores can enter a three-year academic stream, which offers courses leading to university study. Those with lower scores may enter a two-year senior secondary vocational stream, which prepares them for areas such as law and journalism. Those with lower scores can enter a four-year teacher-training college for primary-teacher training, or they can attend a commercial college to learn accounting, general management, or secretarial skills. Students who are even less academically able may attend a junior secondary level elementary vocational program, a vocational home economics program, or a special education program. Higher education is provided by the University of Suriname, the Academy of Arts, and the Advanced Teacher-Training College.
Training for preschool and primary teaching is provided through a four-year program at three teacher training colleges, all of them in Paramaribo, though a part-time program is offered in one of the other districts, where students can study four days a week and at a teacher-training college on weekends. Training for junior secondary teaching is provided by the Advanced Teacher Training College. Vocational and technical teachers are trained at a special training college for vocational teachers. In their third year students learn pedagogical techniques and practice-teach in a school one day a week. The entire fourth year is spent in practice teaching.
Suriname's schools generally are in poor condition. Many of the schools in rural areas lack toilet facilities, running water, or electricity, and many that were damaged during the civil war in the 1980s remain unrepaired. When instructional supplies are provided, if they are not stolen, they arrive many weeks after school begins. Conditions are so dire that the government has instituted a national construction plan, with financial assistance from other countries. The interior regions have no junior or senior secondary schools. The quality of instruction also varies between the urban and interior areas. Whereas about half of students in the Paramaribo area qualify for entrance to the academic track of junior secondary school, only about 30 percent of students in the interior do so.
Education is widely available, particularly at the lower levels, and most Surinamese can afford to send their children to school, but the number of qualified graduates remains low, mainly because of high dropout and repetition rates, poor instruction, lack of education materials, and deteriorated school buildings. About 9 out of 10 Surinamese children start school, but fewer than 4 in 1,000 finish senior secondary school. Special programs have been set up for those who never enter or who drop out, but these programs cannot keep pace with demand.
Apathy has also become a problem in the school system. Less than 1 percent of the students in teacher training school want to teach. Morale among teachers in the schools is low because of poor pay, poor facilities, and a lack of teaching materials. Between 1980 and 1994, teachers' salaries declined by four-fifths in real terms, thereby contributing to an outflow of qualified teachers who could get jobs abroad. Many teachers do not come to work although they continue to collect their salary. Finding teachers willing to serve in the interior or distant coastal districts has been a long-standing problem. The practice of shunting academically weak and unmotivated students into teaching leaves many teachers poorly prepared for their work. The system needs an entrance examination for teacher-training colleges that is separate from the national examination so as to screen out unmotivated and academically weak students, thereby improving instruction throughout the system.
Suriname receives some educational aid from a number of countries, principally the Netherlands and Belgium. Dutch support has focused on providing instructional materials and supplies at the primary level, particularly in the interior, developing apprenticeship programs in vocational-technical education and supporting higher education. Much of the international assistance to education has been at the tertiary level, in the form of assistance to the University of Suriname and scholarship programs to support Surinamese students studying abroad.
Despite these financial ties, Suriname's economic interests are increasingly shifting toward countries in which English, Portuguese, and Spanish are the official language. The dominance of Dutch in Suriname's education system has slowed the development of a curriculum that better serves the country's needs. Suriname could strengthen its educational system by including instruction not only in English but Portuguese and Spanish, especially as students advance through the higher grades. The Ministry of Education needs better management so that schools are repaired in a timely fashion, budgets are allocated equally among interior and urban schools, and abuses are curtailed. By improving teacher training, the number of well-qualified teachers would increase, and in turn students would be better educated and more of them would reach the higher levels of education.
BIBLIOGRAPHY
Behrman, J. R. Human Resources in Latin America and the Caribbean. Washington, D.C.: Inter-American Development Bank, 1996.
Craig, Dennis R., and Margo L. Illes-Deekman. The Education Systems of Suriname and the British Commonwealth Caribbean: A Comparative Study. Guyana: Education and Development Services, Inc., 1998.
European Union. "Co-operation between the European Union and The Republic of Suriname." Annual Report. Paramaribo and Brussels, 1995.
Government of Suriname. Multi-Year Development Plan. Paramaribo, 1998.
——. Statistical Yearbook of the Republic of Suriname. Paramaribo: General Bureau of Statistics, 1995.
Inter-American Development Bank. "Economic and Social Progress in Latin America." Report, Special Section: Making Social Services Work. Washington, D.C., 1996.
——. "Improving the Quality of Primary Education in The Republic of Suriname." Project Completion Report. Washington, D.C., 1995.
Jungblut, Bernadette, et al. Country Review: Suriname 1999/2000. Available from http://www.CountryWatch.com.
Lieberg, Carolyn S. Enchantment of the World: Suriname. Chicago: Children's Press, 1995.
Miller, Errol. Education For All: Caribbean Perspectives and Imperatives. Washington, D.C.: Inter-American Development Bank, 1992.
Sedoc-Dahlberg, B. "Suriname: 1975-89: Domestic and Foreign Policies Under Military and Civilian Rule." In The Dutch Caribbean Prospects for Democracy, ed. Betty Sedoc-Dahlberg. City: Publisher, 1990.
"Suriname." The World Almanac and Book of Facts 2001. SIRS Researcher. Available from http://www.sirs.com.
—Bernard E. Morris
Suriname, Indonesia?
Republik Suriname (Surinam) adalah sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini berbatasan dengan Guyana Perancis di timur dan Guyana di barat. Di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra Atlantik. Suriname ini disebut sebagai “Indonesia Sebelah Barat”.
Di Suriname tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari Hindia-Belanda antara tahun 1890-1939. Suriname merupakan salah satu anggota Organisasi Konferensi Islam.
info:
Sekedar informasi saja bahwa bahasa Jawa yang digunakan di Suriname ini agak sedikit berbeda meskipun pada dasarnya bahasa yang digunakan sama dengan Bahasa Jawa yang digunakan di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Karena bahasa Jawa yang digunakan di Suriname hanya diwariskan secara turun-temurun antar generasi ke generasi, mulai dari orang Jawa yang datang di Suriname melalui perbudakan pada zaman penjajahan Belanda lebih dari 100 tahun yang lalu. Total sampai sekarang sudah tiga generasi yang pernah hidup di salah satu negara di Amerika Selatan ini.
Bukan hanya bahasa Jawa saja yang diwariskan kepada generasi selanjutnya dari komunitas bangsa Jawa Suriname ini, melainkan juga budaya dan segala tentang Jawa pun turut dikembangkan di Suriname. Karena tidak pernah kontak dengan orang Jawa di Indonesia, maka budaya Jawa di Suriname berkembang dengan sendirinya sesuai persepsi orang Jawa Suriname. Wayang dan budaya Jawa lainnya pun masih ada di sana.
Meskipun orang Jawa yang ada di Suriname bisa dibilang cukup banyak dari keseluruhan penduduk Suriname, dan bahkan bahasa Jawa pun banyak dipergunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari oleh warga Suriname, khususnya masyarakat keturunan Jawa Suriname itu sendiri.
Bahasa Jawa yang digunakan di Suriname ini mungkin sama dengan bahasa Jawa yang berkembang di pulau Jawa pada 100 tahun yang lalu, sama seperti bahasa yang digunakan orang Jawa yang pertama kali datang di Suriname. Bahasa Jawa tersebut bukan bahasa Jawa halus atau kromo inggil seperti bahasa Jawa di Yogyakarta, melainkan bahasa yang sedikit kasar dan ngoko. Ini dikarenakan orang Jawa yang dipindahkan ke Suriname oleh penjajah Belanda sebagai buruh murah atau kuli kontrak di perkebunan-perkebunan gula ataupun kayu yang ada di Suriname ini kebanyakan berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi bahasa Jawa yang turun-temurun digunakan ini sedikit kasar dalam gaya bahasanya. Dan itulah dulu yang menjadi bahasa sehari-hari kaum buruh Jawa di Suriname.
Orang Jawa datang di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa oleh Belanda. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada terselip sebagian orang-orang Madura, Sunda, Batak dan daerah lain yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana alias Jawa Suriname.
Tanggal 9 Agustus 2008 persis 118 tahun lalu orang Jawa diangkut ke Suriname untuk menjadi buruh kontrak. Sejak Suriname merdeka pada tahun 1975, banyak warga Suriname asal Jawa hijrah ke negeri bekas penjajahnya, Belanda.
Yayasan Rukun Budi Utomo dan Yayasan Peringatan Imigrasi Orang Jawa (STICHJI) memperingati peristiwa penting ini dengan menggelar pameran foto dan meluncurkan buku. Buku itu berjudul De Stille passanten, Levensverhalen van Javaans-Surinaamse ouderen in Nederland. (Orang lewat diam-diam, Riwayat hidup lansia Jawa Suriname di Belanda.)Aula Sekolah Tinggi Den Haag Haagse School dipenuhi suasana Jawa. Musik gamelan terdengar dari panggung, banyak pria mengenakan batik dan perempuan berkebaya terlihat di mana-mana.
Menurut Ibu Hariëtte Mingoen, penulis utama kumpulan riwayat hidup itu, buku ini ditulis karena sampai sekarang belum ada buku yang berisi riwayat hidup yang diceritakan oleh orang yang bersangkutan sendiri.
Harriët Mingoen: “Sejarah yang kita baca/mengerti, itu dari analisa-analisa arsip. Lalu itu yang menganalisa orang dari luar. Bukan orang Jawa dan bukan orang yang mengalami imigrasi sendiri.”
Tradisi dan budaya
Ibu Mingoen, yang juga Ketua Yayasan Peringatan Imigrasi Orang Jawa (STICHJI), menambahkan buku yang disusun sekitar satu setengah tahun ini dapat dinilai mewah. Karena buku yang berisi potret para lansia Jawa ini memberi informasi baru tentang kehidupan mereka waktu masih di Jawa, di Suriname dan kemudian di Belanda. Orang-orang tua ini sekarang tinggal di Belanda.
Buku riwayat hidup dan potret para lansia Jawa yang disusun bersama seorang warga Indo-Belanda Ivette Kopijn itu, dibubuhi pengantar presiden pertama Suriname Johan Ferrier. Dalam sambutannya pria gaek ini menyinggung karakter orang Jawa dan mengucapkan terima kasih kepada mereka dan para penulis.
Ferrier: “Saya tahu, tidak gampang untuk meminta orang Jawa bercerita. Mereka tidak mau mencanangkan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Tapi mereka berupaya mengatasinya dengan enerji yang ada dalam diri mereka. Saya berterima kasih banyak kepada para pencerita yang bersedia memberi kesempatan kepada ibu-ibu penulis buku ini untuk menyuarakan diri mereka. Harriët, terima kasih.”
Acara yang berlangsung sekitar 3 jam itu juga dihadiri oleh pejabat tinggi kota Den Haag, dan staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag. Menurut Wakil Kepala Perwakilan RI Djauhari Oratmangun, KBRI Den Haag selalu diundang kalau ada kegiatan masyarakat Belanda asal Indonesia seperti orang Jawa ini.
Djauhari Oratmangun: “Sejak beberapa tahun terakhir ini kita pun sangat aktif untuk merangkul mereka, orang-orang Jawa Suriname. Karena bagaimana pun darah yang mengalir di dalam tubuh mereka itu kan darah Jawa. Dan Jawa itu ada di Indonesia. Walaupun mereka sudah menjadi warganegara Suriname, tapi tradisi dan budaya masih tetap tradisi dan budaya Jawa.”
Buku
Judul buku “Orang Lewat Diam-Diam” mengesankan seolah orang Jawa itu suka bungkam tidak mau menonjol seperti disinggung oleh mantan presiden Suriname tadi. Inilah yang mendorong Harriët Mingoen, sebagai ketua Yayasan Peringatan Imigrasi Orang Jawa (STICHJI) untuk menggalakkan warga Jawa Suriname keluar dari sarangnya.
Harriët Mingoen: “Oleh karena itu tujuan saya supaya setiap tahun kalau mengadakan peringatan Javaanse immigratie (imigrasi orang Jawa,red), supaya mengeluarkan hasil tertentu. Tahun ini buku, mungkin tahun depan produksi teater atau tahun depannya buku lagi. Supaya terlihat.
Suatu ambisi yang bagus yang mudah-mudahan berhasil. Tapi andaikan itu tidak berhasil, setidaknya melalui buku ini, dunia akan mengenal kehidupan generasi pertama orang Jawa Suriname yang berkarakter pendiam, tetapi bekerja keras[/spoiler]
fakta-fakta:
- Pendapatan Terbesar Suriname berasal dari sektor pertambangan (bauksit, emas, dan minyak bumi), pertanian (beras dan pisang), serta peternakan (udang).
- Suriname sudah mengenal Indonesia sejak masih dijajah Belanda. Begitu merdeka, negara ini langsung membuka hubungan diplomatik (hubungan resmi) dengan Indonesia. Selama ini, dengan Suriname, kita sudak melakukan kerja sama di bidang pembangunan, ekonomi, pariwisata, serta seni budaya.
- Orang Jawa yang tinggal di Suriname masih bisa berbahasa Jawa dan memainkan gamelan Jawa. Mereka juga memelihara tradisi 1 Suro (tahun baru menurut kalender Jawa), macapat (melantunkan tembang khas Jawa), ludruk, kuda lumping, dan musik campursari.
- sumber haxims
Mengenal Empat Kelompok Orang Asal Indonesia Di Belanda
(diambil dari Blogspot Gemaralura)
Dari empat kelompok, masing-masing, kelompok Indo, bahasa Belanda disebutan Indisch (turunan Indonesia-Belanda) adalh hasil perkawinan campuran, kelompok Ambon, kelompok Jawa Suriname dan kelompok orang-orang Indonesia merdeka (maksudnya orang Indonesia yang berada di Belanda dengan kemauan dan usaha sendiri).
Dalam hidup sehari-hari, mereka hidup berdampingan bagaikan olie bercampur air. Setiap kelompok mengakui kelompoknya tersindiri dari yang lainnya.
Kelompok Indo, ini merupakan kelompok tertua sejarahnya di Negeri Belanda, sudah beberapa generasi hadir dinegeri kincir angin. Melalui orang tua dan leluhurnya, mereka pindah ke Negeri Belanda. Indo ini dikenal sejak terjadinya perkawinan antara tuan dan pengasuh rumah tangga sejak masa kolonial, di Nederlands Indië pada jaman tempo doeloe.
Tetapi kelompok ini mencapai puncaknya berpindah ke Belanda pada zaman pergantian kekuasaan di Indonesia, dari orde-lama ke orde-baru, pada akhir tahun 1965 – 1966, kemudian mereka berdiam negeri Belanda, mereka ini menganggap diri selaku orang Belanda, walaupun orang Belanda sendiri menganggap orang asing, demikian juga halnya orang di Indonesia beranggapan sama kepada mereka. Hingga terjadi istilah bangsa kehilang tanah air dan orang-orang yang asing dinegeri leluhurnya.
Kelompok Ambon, kelompok ini datang ke negeri Belanda melalui kebijaksanaan Pemerintah Belanda pada awal tahun limapuluhan. Pemerintah Belanda merasa bertanggung jawab atas keselamatan bekas serdadunya, yang bergabung dalam KNIL.
Bekas tetara KNIL ini diangkut oleh pemerintah Belanda dari Indonesia setelah Tentara Republik mengoperalih kekuasaan dibawah presiden Sukarno. Bekas tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) ini, diangkut dengan kapal laut dari Indonesia ke Nederland pada tahun 1951. Jumlah dari kelompok Ambon asal KNIL ini membentuk kelompok yang terbesar dari empat kelompok dimaksud. Dari hasil kawin mawin mereka dengan berbagai ras di Nederland, sampai ke generisi ke tiga sekarang mungkin jumlahnya sudah ratusan ribu jiwa. Mereka ini tersebar ke berbagai penjuru Nederland mulai dari Selatan Provinsi Maastricht sampai ke utara provinsi Groningen dan Frisland.
Kelompok Jawa Suriname, kelompok ini, berliku-liku jalannya sejarah yang dilalui. Leluhur mereka berangkat dari pulau Jawa pada jaman kolonial menuju ke Suriname. Asal mula kelompok ini, adalah tenaga pekerja dari Jawa pada tahun 1890 dibawa ke Suriname, selaku tenaga kerja kontrakan yang akan dipekerjakan diperkebunan tebu. Dan menurut mereka, leluhurnya dijanji oleh pemerintah kelonial, setelah selesai kontrak mereka, mereka akan dikembalikan ke pulau jawa selaku negeri asalnya.
Tetapi perjalanan masa terus beralalu, janji tetap janji, apa yang dijanjikan kepada leluhur mereka tidak pernah ditepati, sihingga menetap di Suriname dan membentuk satu kelompok dari penduduk negara Suriname; sudah menetap di suriname sampai Suriname merdeka dan membentuk satu komunistas Jawa - Suriname, kemudian dengan suka rela, selaku bangsa merdeka datang ke negeri Belanda. Jawa Suriname ini, tetap merasa orang Jawa, tetapi tidak merasa orang Indonesia.
Kelompok orang Indonesia merdeka, dimaksudkan penulis disini adalah bangsa Indonesia yang setelah indonesia merdeka, tidak ada hubungan dengan sejarah masa lalu, mereka berada di negeri Belanda. Mereka datang dengan kemauan dan usaha sendiri, tidak terbawa oleh sejarah kepindahan mereka. Mereka ini tidak merasa punya kesamaan dengan kelompok lain, yang telah disebutkan diatas. Kelompok keempat ini, tidak pernah merasa ada kesamaan sejarah dengan tiga kelompok lainnya. Demikianpun turunan mereka, tetap mengetahui, mereka berada di Belanda dengan keinginan orang tuanya datang ke Belanda dengan berbagai alasan.
Adakah perbedaan penampilan dari empat kelompok dimaksud diatas?
Pengalaman penulis yang sudah lebih sepermpat abad bergaul dari dekat dari empat kelompok disebutkan ini, tidak ada yang menonjol, umumnya sama raut dan penampilan wajah bangsa Indonesia yang ada ditanah air, berkulit sawo matang pada dasarnya. Tetapi setelah perjalanan masa berada di negeri bermusim empat dan bersuhu sejuk, hanya tiga atau empat bulan terkena mata hari panas, kulit mereka sudah agak mengalami perubahan, sedikit, agak putih telur. Kecuali yang berdarah campuran memang lebih keputih-putihan dari yang lainnya.
Perbedaan kedalam dapat kita ketahui, kalau mencoba berbincang dengan, diantara mereka. Misalnya ditanya dalam bahasa Indonesia. Dari Indonesia?
Tidak ada jawaban. Tetapi pertanyaan kemudian dirubah dalam bahasa Belanda.
“Waar komt U vandaan?” baru didapatkan jawaban dalam bahasa Belanda, dan kadang terdengar pula kementar dilentarkan mereka, menceritakan siapa orang nya, dari kelompok mana asal mereka.
Kami orang Maluku, orang tua kami dari Ambon dan kementar selanjutnya. Kalau mereka keturunan dari bekas tentara KNIL.
Kami orang Indo, kami turunan Belanda, nenek perempuan dari ...... mereka kadang menyebut kota asal neneknya, tetapi lebih banyak tidak tahu lagi dari mana asal nenek perempuannya.
Kami orang Jawa, datang dari Suriname dan selanjutnya. Nenek-moyang kami dibawa ke Suriname oleh Belanda. Kami masih punya pamili di Jawa, tetapi tidak tahu persinya, dimana.Tetapi lain halnya, bila bertemu dengan kelompok ke empat, orang indonesia merdeka, terjadilah percakapan, selagi ada kesempatan untuk berbincang-bincang.
Bagaimana keadaan hidup sehari-hari dari empat kelompok ini?
Dari empat kelompok ini, tidak ada orang turunan Indonesia yang disebutkan diatas tampil kemuka selaku pengusaha nasional di Belanda, setahu penulis. Dalam usaha-usaha kecil setingkat perusahaan pertokoan atau berjual-jualan kolenton, sebagai mana di Indonesia, tidak ada yang dapat diandalkan, satu dua di kota besar menjadi pemilik restoran, tatapi tingkatannya begitu-begi saja. Pada umumnya turunan Indonesia yang ada di Belanda, hidup selaku pekerja diberbagai perusahaan swasta atau pemerintah.
Dasar penghidupan mereka selaku orang digaji, bukan menggaji.
Turunan bangsa indonesia di Belanda, bila dibandingkan dengan bangsa lain, yang dikenal dengan nama “bangsa emigrant” dari Turki, Marokko dan lain bangsa. Bangsa Indonesia mati suri dan tidak kompak satu dengan lainnya. Dan tidak mempunyai persatuan yang kokoh, pabila dibanding dengan komunitas lain. Dapat dikatakan kurang inisiatief, tidak ambisius dan tidak berani mengambil resiko tampil selaku pengusaha bila dibanding dengan bangsa lainnya.
Di bidang politik, baik lokal atau nasional kelompok Maluku, sudah beberapa orang yang pernah duduk selaku anggota parlemen (Tweede kamar lid) dan politikus lokal (Gemeeenteraad), tetapi skalanya tidak berarti bila dibanding dengan kemunitas bangsa Turki, Marokko, Iran dan lain-lain bangsa*
Suriname's politics
A former Dutch colony puts its 1980s strongman back in power
SINCE returning to democracy, most countries in Latin America and the Caribbean have tried to distance themselves from their Cold War military dictatorships. Yet while Suriname’s South American neighbours are locking up their generals of yesteryear, the former Dutch colony is poised to restore its erstwhile strongman to power. Following an election on May 25th in which the Mega Combination coalition led by Desi Bouterse won a plurality of seats, the former military dictator is guaranteed a return to office.
A former track star and army boxing coach, Mr Bouterse seized control of Suriname following a coup in 1980. His rule is best remembered for his ties to Moscow, the execution of 15 political opponents in 1982, and a bloody counterinsurgency against the Jungle Commando guerrillas. He resigned in early 1988 but briefly retook power almost three years later, when he phoned the president to inform him that he was being deposed.
Apart from his political career, Mr Bouterse has allegedly been involved in drug-trafficking. In 1999, the Netherlands convicted him in absentia of smuggling cocaine, and issued an international warrant for his arrest. As a result, he risks capture if he leaves Suriname. He is also currently on trial at home for the 1982 killings.
None of this makes for an enticing political biography. The last time Mr Bouterse’s party won an election, in 1996, he left the presidency to an ally, with whom he later squabbled. It then lost elections in 2000 and 2005. But this year’s environment was much more favourable for Mr Bouterse. Even though Suriname’s economy has done well under Ronald Venetiaan, a 73-year-old former mathematics teacher, voters have tired of him after a decade in office. His unwieldy eight-party coalition slowed decision-making. Mining and oil have brought growth but not many direct jobs.
Meanwhile, Mr Bouterse proved a surprisingly adept campaigner. Despite his 64 years, he wisely courted voters too young to “remember 1982”, as Mr Venetiaan’s advertisements suggested. “Bouta,” as his supporters call him, set his rallies to Bob Marley tracks, breezily delivered jokes in a mix of official Dutch and the widely spoken Sranan Tongo language, and boasted of the factories built under his rule (most of which later went bust). He managed to convince many under-35s that he was a candidate of change, in contrast to the stodgy Mr Venetiaan.
Even so Mr Bouterse’s Mega Combination took only 40% of the vote, while the parties that previously made up Mr Venetiaan’s New Front received 49%, largely from older voters. But since the last election the New Front has splintered into three rival groups, allowing the Mega Combination to emerge as the largest united block. Mr Bouterse has secured tentative alliances with two ethnic parties that would give him the support of two-thirds of the legislature, enough both to make him president and modify the constitution. Even if they fall apart, Mr Bouterse will still regain power: if no party holds a two-thirds majority, a separate assembly of lawmakers and local representatives convenes to choose the president, and the Mega Combination won a majority of its members in the election.
The campaign did not focus on policies, but the most contentious issue is gold mining in Suriname’s jungle interior. Gold’s rising price has drawn freelance miners from Brazil and Guyana, and attracted foreign investors. These prospectors rub shoulders with the Maroon peoples, descended from slaves who escaped Dutch plantations 200 years ago. The Maroons led the rebellion against Mr Bouterse’s dictatorship, and staged an anti-Brazilian riot last Christmas. Mr Bouterse wants the government to register the wildcat miners, tax them and subject them to environmental regulation. He opposes a proposed terms of an investment by Newmont Mining, an American firm, saying it amounts to exchanging Suriname’s natural bounty for a mere “apple and an egg.”
But what matters most to Mr Bouterse is his own trial. It began in 2007 but has been slowed by procedural challenges. As president, he might let it proceed, and simply pardon himself if he is convicted. Being head of state could also shield him from the Dutch arrest warrant, although travelling abroad would still be a risk. The Surinamese must hope that such perks of office will not tempt Mr Bouterse to try to stay in power again if he is voted out in 2015.
Desi Bouterse
From Wikipedia, the free encyclopedia
Desiré Delano Bouterse[1] (born 13 October 1945 in Paramaribo District) is a Surinamese politician. As an army officer, he was the de facto leader of Suriname through most of the 1980s, serving as Chairman of the National Military Council. Currently he leads the National Democratic Party (Nationale Democratische Partij, NDP).
[edit] Military and political career
Bouterse's name is closely bound with the military regime that controlled Suriname from 1980 until the beginning of the 1990s. On 25 February 1980, the government of newly-independent Suriname underwent a military coup which declared the country to be a Socialist Republic[2] and Bouterse became Chairman of the National Military Council. Though the Suriname Presidency was retained, Bouterse was the nation's de facto ruler until his resignation in 1988. He had served briefly as president himself for a period in 1982.
Bouterse was a leading figure in Suriname's post-independence civil war, and is responsible for the infamous "December murders" of 1982 and events in the Maroon (Bosneger) village of Moiwana in 1986. Since then he has been accused on various occasions of involvement in illegal drug trafficking. In July 1999, he was convicted in absentia in the Netherlands for cocaine trafficking. [3] The Netherlands has an international warrant for his arrest, which makes it almost impossible for him to leave Suriname. Suriname cannot extradite him because he is a former head of state.
Since the return of democratic government, led in succession by Ronald Venetiaan, Jules Wijdenbosch, and Venetiaan again, Bouterse has tried unsuccessfully to return to power through elections.
Although he has been convicted in the Netherlands, he has remained free in Suriname. The Suriname government has said that it is preparing a case against the perpetrators of the December murders to be brought before a judge. The cases are ongoing as of April 2006. Bouterse has denied any involvement in the killings on 8 December 1982 at Fort Zeelandia, in which 15 prominent opponents of the military regime were shot dead. He has said that he wasn't present and that the decision was made by the commander of the battalion, Paul Bhagwandas, who died in 1996. He did, however, accept political responsibility.[4]
In 2010 Desi Bouterse and his political party, "De Mega Combinatie" - "The Mega Combination" -, were voted to become the biggest party in Suriname. De Mega Combinatie failed to gain an absolute majority in parliament by 3 seats, requiring 51 seats. It is to this moment unclear whether Desi Bouterse will make it into government, as the current president and his party had announced not to want to form a national government with Bouterse due to his prosecution for the December murders. Bouterse will have to cooperate with either Ronnie Brunswijk - his former enemy - or the Javanese leader Salam Somohardjo of the "Volks Alliantie" - Peoples Alliance - who had left the New Front party before the elections [5]
[edit] References
- ^ According to the Statutes of the DNP written as Desiré
- ^ https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ns.html
- ^ Neilan, Terence (17 July 1999). "World Briefing". The New York Times. http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9804E1DD123FF934A25754C0A96F958260. Retrieved 1 May 2010.
- ^ "Ex-Suriname head faces murder trial". Al Jazeera. 2009-02-21. http://english.aljazeera.net/news/americas/2009/02/2009220201340400544.html.
- ^ Volkskrant.nl <http://www.volkskrant.nl/buitenland/article1382767.ece/Enorme_winst_voor_Bouterse_in_Suriname>
Jawa Suriname
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Jawa sudah berada di Suriname sejak akhir abad ke-19, di mana angkatan pertamanya dibawa oleh kolonis Belanda dari Hindia-Belanda (sekarang Indonesia). Sebagian keturunan mereka ada yang tinggal di Belanda. Sampai sekarang, mereka tetap menuturkan bahasa Jawa.
[sunting] Sejarah
Adanya orang Jawa di Suriname ini tak dapat dilepaskan dari adanya perkebunan-perkebunan yang dibuka di sana. Karena tak diperbolehkannya perbudakan di sana, dan orang-orang keturunan Afrika dibebaskan dari perbudakan. Di akhir 1800-an Belanda mulai mendatangkan para kuli kontrak asal Jawa, India dan Tiongkok. Orang Jawa awalnya ditempatkan di Suriname tahun 1880-an dan dipekerjakan di perkebunan gula dan kayu yang banyak di daerah Suriname.
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, Batak, dan daerah lain yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.
Orang Jawa menyebar di Suriname, sehingga ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Ada pula yang berkumpul di Mariënburg. Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah 'merdeka', banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia. Kemudian, di tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada sedikit yang beragama lain.
Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah.
Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.